Beranda | Artikel
Fikih Utang Piutang (Bag. 10): Utang yang Mendatangkan Manfaat atau Keuntungan
14 jam lalu

Terdapat pembahasan yang tidak kalah penting terkait dengan fikih utang piutang. Pembahasan yang seringkali jadi pertanyaan besar di sebagian benak seseorang. Boleh tidak sih sebenarnya menerima pembayaran lebih dari pengutang? Bukannya itu riba…? Bolehkah mengambil keuntungan dari utang piutang?

Terlebih ada kaidah yang menyebutkan bahwasanya,

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا

“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat, maka itu adalah riba.”

Apakah setiap manfaat pada utang piutang sudah pasti riba? Berangkat dari pertanyaan inilah, pembahasan ini menjadi penting untuk dibahas.

Utang yang mendatangkan manfaat

Maksudnya adalah, keadaan ketika pengutang membayarkan lebih dari utangnya. Gambaran sederhananya: Jika A berutang kepada B sebesar Rp500.000. Kemudian ketika pembayaran, A melebihkan menjadi Rp600.000. Maka, pada hal ini terdapat dua keadaan:

Keadaan pertama: Tambahan atau manfaat yang diberikan sudah disyaratkan dari awal akad di antara kedua belah pihak

Yakni, ketika awal akad kedua belah pihak bersepakat untuk membayarkan lebih dari nominal utang piutang. Apapun istilah yang digunakan, baik disebutkan terang-terangan riba, atau disebutkan dengan biaya administrasi, jasa layanan, biaya proses, bunga, bagi hasil, atau disebut dengan penggunaan bahasa Arab seperti musyarakah dan mudharabah, dan juga denda keterlambatan.

Yang kesemua ini hanyalah nama-nama semata. Hakikatnya adalah tetap RIBA, sebagai hilah (kamuflase) seolah-olah riba itu adalah sesuatu yang halal, begitupun agar manfaat yang diperoleh juga halal. Ketahuilah! Keharaman mau dibalut dengan seindah apapun, dibungkus dengan nama-nama yang baik, maka yang haram tetaplah haram!

Allah Ta’ala telah menyebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an,

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Dalam kaidah fikih disebutkan,

العِبْرَةُ بِالحَقَائِقِ وَالمَعَانِي لا بِالأَلْفَاظِ وَالمَبَانِي

“Yang menjadi tolak ukur (pada sebuah akad) adalah hakikat dan makna (yang sesungguhnya), bukan dari lafal dan bentuk kata-kata semata.”

Sehingga apapun namanya, jika sudah disyaratkan di awal akad akan adanya tambahan ketika mengembalikan, maka ini adalah riba. Dalam hal ini para ulama ijma’ (sepakat).

Dan dalam hal ini terdapat beberapa contoh:

Seperti seseorang ingin memberikan utang namun dengan syarat,

  • Pengutang mengizinkan pemberi utang tinggal di rumahnya.
  • Pengutang mau menjual barang berharga yang dimilikinya kepada pemberi utang.
  • Pengutang mau bekerja untuk pemberi utang.
  • Pengutang mau memberikan sewa kendaraannya kepada pemberi utang.

Intinya, syarat-syarat yang bentuknya manfaat, bukan saja tambahan nominal dalam utang. Namun, hal-hal yang bentuknya manfaat pun dapat termasuk dalam kategori riba.

Dalam hadis yang dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud, disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah, dari Abdullah bin ‘Amr beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Tidaklah halal menggabungkan antara transaksi utang piutang dengan transaksi jual beli, tidak boleh ada dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidaklah halal keuntungan yang didapatkan tanpa adanya tanggung jawab untuk menanggung kerugian, dan engkau tidak boleh menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud)

Mengingat akad utang-piutang adalah akad yang dibangung di atas rasa belas kasih. Jika disyaratkan adanya tambahan manfaat, maka ibarat mengubah prinsip utama utang piutang menjadi mengambil keuntungan, bukan lagi soal memberi belas kasih atau berbuat baik.

Keadaan kedua: Tambahan atau manfaat tanpa adanya syarat atau kesepakatan di awal akad

Adapun hal ini, maka diperbolehkan. Bedanya adalah keadaan pertama terdapat syarat dan kesepakatan akan adanya tambahan atau manfaat. Adapun yang kedua sama sekali tidak ada. Dan pemberian ini terjadi bukan ketika akad sedang berlangsung, namun ketika pengutang mengembalikan utangnya.

Artinya, pengutang ingin membalas kebaikan pemberi utang. Dengan melebihkan pembayaran melebihi nominal misalnya, atau yang lain sebagainya. Maka ini diperbolehkan, baik tambahan tersebut berupa nominal atau spesifikasi. Seperti seseorang mengembelikan barang yang lebih baik, atau memberikan nominal yang lebih. Kedua contoh tersebut pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana dalam hadis Abu Rafi’ yang telah disebutkan, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam mengembalikan unta yang lebih baik dibandingkan unta yang beliau pinjam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً

“Sesungguhnya manusia yang paling baik adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim)

Kemudian dalam hadis, yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani, dari Abdullah bin ‘Abbas, beliau berkata,

اِسْتَسْلَفَ النَّبِيُّ ﷺ مِنْ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ أَرْبَعِينَ صَاعًا، فَاحْتَاجَ الأَنْصَارِيُّ، فَأَتَاهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَا جَاءَنَا شَيْءٌ بَعْدُ. فَقَالَ الرَّجُلُ، وَأَرَادَ أَنْ يَتَكَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَا تَقُلْ إِلَّا خَيْرًا، فَأَنَا خَيْرُ مَنِ اسْتَسْلَفَ فَأَعْطَاهُ أَرْبَعِينَ فَضْلًا، وَأَرْبَعِينَ لِسَلَفِهِ، فَأَعْطَاهُ ثَمَانِينَ.

Nabi pernah berutang kepada seorang laki-laki Anshar sebanyak 40 sha‘ (makanan). Kemudian orang Anshar itu membutuhkan (haknya), lalu datang menemui Nabi .

Rasulullah bersabda, ‘Belum datang sesuatu kepada kami (belum ada pemasukan untuk membayar utang).’

Lalu laki-laki itu hendak berbicara, maka Rasulullah bersabda, ‘Jangan engkau katakan kecuali yang baik, sesungguhnya aku adalah sebaik-baik orang yang membayar utang.’

Kemudian beliau memberikan kepadanya 40 sha‘ sebagai tambahan, dan 40 sha‘ sebagai pembayaran utangnya, sehingga ia menerima 80 sha‘.”

Hal ini menjadi dalil yang jelas bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tambahan baik secara spesifikasi dan nominal. Adapun tambahan secara spesifikasi adalah hadis Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan tambahan yang bentuknya nominal adalah hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu.

Sehingga ini merupakan sunah dalam pengembalian utang serta terdapat akhlak yang mulia dalam hal ini. Dan hal ini tidak masuk dalam utang yang mendatangkan manfaat, karena tidak adanya syarat di awal akad.

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 9

***

Depok, 5 Rabi’ul Akhir 1447/ 27 September 2025

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

Disarikan dari kitab Fiqhul Muamalat Al-Maaliyah Al-Muyassar karya Dr. Abdurrahman bin Hamur Al-Muthiriy.


Artikel asli: https://muslim.or.id/109455-fikih-utang-piutang-bag-10.html